(Sumber Foto: Tempo)
Satu persatu cobek di bawah sebauh terpal itu dirapikan. Ardi,70,
menempatkan satu persatu dari ratusan cobek kecil berdiameter sekitar 20
cm dengan rapih. “Cobek-cobek kecil ini untuk menjemur cairan yang
sudah diperas,” kata Ardi. Ardi merupakan turunan ketujuh pembuat brem
di Dusun Rajakepok Desa Bantrangsana Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat. Sejak kecil pria kurus ini belajar membuat brem
dari sang ayah. Desa Bantrangsana dulunya dikenal sebagai desa pembuat
brem. Namun peminat brem semakin berkurang. Di desa tersebut hanya
menyisakan dua pembuat brem.Satu di antaranya Ardi. “Sekarang banyak yang beralih membuat rengginang,” kata Ardi. Brem tidak sulit dibuat. Cara pembuatannya sangat mirip dengan tape. “Bahan utamanya beras ketan,” katanya. Setiap hari Ardi bisa menghabiskan 10 kilogram beras ketan. Beras ketan itu terlebih dahulu ditapih dan dicuci bersih. Beras kemudian dikukus dan didinginkan dan dicuci kembali. Beras ketan kemudian ditiriskan sampai benar-benar kering. “Lalu dikukus lagi untuk kedua kalinya,” katanya. Setelah tanak, beras didinginkan lagi sekitar 4 sampai 5 jam. “Baru diberi ragi,” katanya. Setelah itu ditempatkan di boboko, wadah dari bahan bambu.
Beras ketan yang sudah diragi baru bisa diolah setelah 4 hari. Setelah 4 hari, beras ketan diperas untuk diambil airnya. Beras ketan dimasukkan ke karung bekas beras yang terbuat dari plastik, dan dibungkus menggunakan kain. Di atasnya diberi batu atau potongan kayu lalu pemerasan dimulai dengan menggerakkan sebuah tuas dari kayu juga. “Airnya ditampung di baskom,” kata Ardi. Air perasan dipindahkan pelan-pelan ke dalam cobek untuk dijemur.
Proses penjemuran memang harus menggunakan cobek. “Kalau tidak menggunakan cobek, susah keringnya. Kalau cobek ada pori-porinya sehingga cepat mengental,” kata Ardi. Setelah cairan mengental, pindahkan ke dalam baskom dan mulai dicetak. Pencetakan pun mudah. Hanya menggunakan sebuah sendok teh. Yaitu cairan yang sudah mengental itu diciduk menggunakan sendok teh lalu ditaruh di atas plastik besar dan dipipihkan sampai menjadi tipis. Begitu seterusnya sampai seluruh cairan yang mengental itu habis. Pencetakan selesai, penjemuran kembali dimulai. Plastik yang berisi cetakan-cetakan brem lalu ditempatkan di sebuah wadah dari bambu lalu dijemur. “Jadilah brem,” kata Ardi. Proses penjemuran hanya membutuhkan 1 jam di musim panas.
Pada musim penghujan dibutuhkan waktu hingga 4 jam. 10 kg beras ketan bisa menghasilkan hingga 2 ribu keping brem tipis dan kecil. Terkadang Ardi menerima pesanan dari pelanggan lama. “Saya dipasok hingga 100 kg beras ketan,” katanya. Semuanya untuk diolah menjadi brem. Pemesanan meningkat pada hari-hari besar, seperti muludan, lebaran, natal dan tahun baru. Tapi semuanya dipasok beras ketan. “Modal saya terbatas, jadi tidak mungkin membeli hingga 100 kg beras ketan,” katanya. Ardi mengaku paling banyak membeli hingga 60 kg beras ketan. “Waktu muludan saya bikin sampai 60 kg beras ketan dan laku karena sudah dipesan sebelumnya,” katanya.
Ardi mengaku sejak zaman Belanda dulu brem berkembang di desanya. “Waktu itu Belanda sering datang dan minta dibuatkan tuak,” kata Ardi. Namun industry rumah tangga Ardi sepi dari bantuan. Terakhir mereka hanya menerima 20 cobek. “Tapi saya dan keluarga tetap akan menjalankan usaha ini,” Kata Ardi
Bagikan Artikel
Post a Comment